Menjelang satu abad Indonesia, negara kita masih belum bisa lepas dari
masalah-masalah yang mendera. Mulai dari kasus korupsi, konflik antar-umat
beragama, perang melawan narkoba, terorisme dan masih banyak kasus lainnya. Bahkan
ada beberapa kasus yang melibatkan beberapa orang penting di negeri ini.
Seperti kasus korupsi yang telah menjerat para pejabat penyelenggara negara,
hakim, polisi dan pemberantas korupsi itu sendiri (KPK). Lalu bagaimana cara
mengatasi masalah-masalah tersebut? Adakah solusi yang paling solutif untuk
membentuk karekter dan meningkatkan integritas bangsa Indonesia? Jawabannya ada
pada pendidikan.
Menurut Lengeveld, manusia itu adalah animal educandum (makhluk
yang harus dididik), animal educabile (makhluk yang dapat dididik) dan home
educandus (makhluk yang harus dan dapat mendidik). Untuk itu, diharapkan pendidikan
akan mampu membentuk karakter bangsa sesuai yang kita cita-citakan. Pendidikan
akan mengarahkan manusia menjadi pribadi yang bertanggung jawab, peka terhadap
realitas sosial dan mampu mengembangkan potensi dirinya menjadi lebih baik.
Ada banyak model pendidikan di Indonesia, baik formal maupun
nonformal. Mulai dari sekolah, pondok pesantren, home schooling, kelompok
belajar dan lainnya. Namun, biasanya jika kita berbicara tentang pendidikan,
pikiran kita akan langsung tertuju pada sekolah. Diakui atau tidak, pendidikan
selalu identik dengan sekolah. Mengapa bisa begitu? Akan penulis kupas dalam
tulisan ini.
Sebagai salah satu lembaga yang berwenang menyelenggarakan
pendidikan di Indonesia, sekolah telah menempuh perjalanan panjang dan melewati
berbagai rintangan. Di satu sisi sekolah telah mampu mendidik dan membina
anak-anak indonesia sehingga mampu berprestasi di kancah internasional, seperti
Tim Olimpiade Biologi Indonesia yang mampu meraih medali emas, perak dan
perunggu dari kompetisi International Biology Olympiad (IBO) di Aarhus,
Denmark, 12-19 Juli lalu. Tetapi di sisi lain sekolah juga tidak lepas dengan
berbagai masalah, seperti sering bergantinya kurikulum, guru yang tidak
berkompeten dan kasus tawuran antar pelajar. Ternyata sekolah sebagai pilihan
utama masyarakat belum memberikan jawaban yang memuaskan sesuai apa yang diidam-idamkan.
Kiranya perlu mengajak masyarakat untuk berfikir kritis terhadap
sekolah. Ivan Illich dalam bukunya Deschooling Society telah menyerukan
untuk melepaskan masyarakat dari belenggu sekolah dan melucuti sekolah dari
kemapanannya sebagai lembaga pendidikan. Meskipun buku itu hasil studinya di
Amerika, tetapi sangat layak untuk kita jadikan pisau analisa bagi sekolah di
Indonesia. Fakta pendidikan di Indonesia bisa menjadi bukti. Meskipun angka
buta huruf turun tetapi kenakalan remaja masih tetap terjadi di banyak sekolah.
Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi naik tetapi biaya kuliah masih
jauh dari jangkauan rakyat miskin. Aksesibilitas pendidikan ditingkatkan tetapi
masih banyak juga masyarakat terpencil yang belum menerima pendidikan layak.
Banyak anak negeri meraih prestasi internasional tetapi tidak sedikit anak-anak
sekolah yang berjuang keras untuk lulus Ujian Nasional (UN) dengan tidak jujur.
Melepaskan Belenggu
Sekolah
Menurut Illich ada beberapa alasan, mengapa sekolah harus dilucuti
dari kemapanannya. Pertama, anggapan mengenai sekolah sebagai
satu-satunya lembaga pendidikan adalah bias dari kehidupan kapitalis yang telah
merasuk dalam kesadaran masyarakat. Kondisi ini didukung dengan adanya
konspirasi terselubung antara pendidikan, kapitalisme dan pemerintah, sehingga menyebabkan
daya hegemonik yang massif.
Adanya struktur masyarakat industri membentuk kesadaran masyarakat
kepada dependensi institusional dalam banyak hal. Masyarakat selalu dan hanya
mengaitkan pendidikan dengan sekolah, pelayanan kesehatan dengan rumah sakit,
keamanan dengan kepolisian, dan seterusnya.
Kedua, ketergantungan
masyarakat terhadap institusi sekolah untuk memperoleh pandidikan ini merupakan
suatu bentuk pelembagaan nilai yang akhirnya menimbulkan polusi fisik,
polarisasi sosial dan ketidakberdayaan psikologis. Menurut Illich, hal ini
didasari bahwa masyarakat dibiasakan untuk menerima pelayanan, bukannya nilai.
Sehingga menyebabkan mereka tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri dan
harus dilayani.
Misalnya adanya stratifikasi sosial berdasarkan tingkat pendidikan.
Seperti di Meksiko, kaum miskin dirumuskan sebagai orang yang tidak menempuh
pendidikan sekolah tiga tahun dan di New York orang miskin adalah orang yang
berpendidikan di bawah dua belas tahun. Sehingga pada level internasional
kewajiban bersekolah di suatu negara dan pencapaian pelaksanaannya dalam
masyarakat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan peringkat kemajuan negara,
dan jadilah kasta sosial global.
Ketiga, sekolah
yang dikembangkan dalam lingkungan kapitalis dibangun atas dasar anggapan bahwa
kegiatan belajar adalah hasil dari kegiatan mengajar. Guru diposisikan sebagai
pengawas yang terkadang malah menghambat kreatifitas peserta didik bahkan
memperkosa masa depan peserta didik. Disamping itu sekolah juga menekankan
pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket untuk memperoleh sertifikat
(ijazah) yang akan digunakan sebagai alat legitimasi bagi individu untuk
memenuhi kebutuhan pasar kerja yang ada.
Keempat, sekolah
telah membagi dan membatasi usia seseorang dengan tingkat pendidikan yang dapat
diikutinya. Masa kanak-kanak, remaja dan dewasa dibagi dan dipaket untuk
tingkat pendidikan tertentu. Seorang anak, menurut Illich akan melewati suatu
proses konflik yang tidak manusiawi ketika oleh sistem masyarakat diharuskan masuk
dalam sekolah. Dengan terpaksa mereka melewati masa kecil yang kurang bahagia.
Pendidikan semacam itu mengabaikan motivasi tiap individu bagi aktifitas
pendidikan yang diikutinya dan memasukkan individu ke dalam struktur mekanis
kebutuhan industri terhadap posisi-posisi tertentu masyarakat kapitalis.
Menjadikan pendidikan pelayan kapitalisme.
Sekolahnya Manusia
Kritik terhadap sekolah bukan untuk merobohkan sekolah, tetapi
untuk mendorong masyarakat agar lebih aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Agar
pendidikan yang memanusiakan manusia dapat terwujud.
Dengan realita sekolah yang ada, menuntut orang tua dan masyarakat
bekerja bersama-sama menjalankan proses pendidikan. Orang tua dan masyarakat
tidak boleh lepas begitu saja dari sekolah dan pendidikan terhadap anak.
Kontrol dan pengawasan, mendidik dan mengajar serta memberi teladan yang baik
dalam pergaulan sehari-hari tetap harus dijalankan. Wujud dari partisipasi
orang tua dan masyarakat dalam pendidikan bisa dengan menjalankan pendidikan
informal dan nonformal. Sekaligus sebagai penyeimbang sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal.
Partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pendidikan telah diatur
pemerintah dalam PP No. 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan, yang di dalamnya juga dijelaskan tentang pendidikan nonformal dan
informal.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Seperti
Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah di Salatiga, Rumah Belajar Ilalang di Jepara
dan Jemari di Solo. Pendidikan nonformal seperti itu dibangun dengan konsep
dasar sekolah berbasis komunitas (community based schooling). Pendidikan
dikelola bersama dalam sebuah lembaga pendidikan, dimana antara warga,
pemerintah, orang tua murid, guru dan anak didik secara rutin dan kontinyu
mengevaluasi, merencanakan dan mengawasi secara bersama-sama. Konsep pendidikan
seperti ini sering disebut sebagai pendidikan alternatif, pendidikan yang
digagas secara bersama oleh warga, dikelola dan dibesarkan untuk meningkatkan
martabat warga itu sendiri. Pendidikan alternatif ini juga sebagai jawaban atas
sekolah formal yang terkesan angkuh, dingin tak berjiwa, birokratis,
penyeragaman dan jauh dari jangkauan warga miskin.
Konsep pendidikan alternatif berbasis masyarakat ini sejalan dengan
solusi yang ditawarkan oleh Ivan Illich, bahwa lembaga pendidikan yang ideal
adalah lembaga yang bertolak dari asumsi dan motivasi pribadi untuk belajar,
serta adanya ketersediaan dan akses terhadap sarana bagi semua orang yang ingin
belajar dan mengajar.
Selain mendorong masyarakat menyelenggarakan pendidikan alternatif,
juga penting mengajak orang tua untuk aktif mendidik dan mengawasi
anak-anaknya. Jangan lagi hanya menyerahkan anak-anak kepada sekolah, kemudian
mengabaikannya.
Sehingga jika ada hubungan yang baik antara sekolah, masyarakat dan
orang tua akan mampu mewujudkan pendidikan yang baik dan bukan tidak mungkin
meningkatkan kualitas pendidikan menjadi lebih baik lagi. Pendidikan untuk
semua.
Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di Majalah PEKA Universitas Muria Kudus
Mendamba Sekolahnya Manusia
Reviewed by Fahmi ASD
on
20.14
Rating:
Tidak ada komentar: