"Berdasarkan rapat redaksi, majalah edisi tahun ini mengangkat tema 'Problematika Pendidikan di Indonesia', Pak" cerita Ziyad Mubarok, selaku Pemred Majalah Kristal, di sela-sela waktu istirahat sekolah.
"Problematika yang seperti apa? " saya balik bertanya.
"Seperti sering bergantinya kebijakan, wacana dihapuskannya UN dan Sekolah Merdeka ala Menteri Nadiem," jawab Ziyad.
Sejenak saya berfikir, boleh juga ide itu. Tetapi, jika hanya membahas hal-hal itu, kurang menarik, karena hanya permukaan saja dari 'problematika pendidikan'. Mungkin lebih menarik jika ditarik lebih jauh tentang hakikat pendidikan, mengapa pendidikan di Indonesia identik dengan sekolah, juga bagaimana pendidikan nonformal dan informal dijalankan di Indonesia. Khususnya tentang homeschooling.
Setelah berdiskusi lebih lanjut dan bersepakat dengan tema, saatnya memilih narasumber. Saya mengusulkan beberapa nama dan akhirnya disepakati.
Jumat (21/2/2020) saya, Pak Said dan Pak Sujadi mengantar para jurnalis muda KristalMedia Brabo untuk menimba ilmu dengan Pak Edi Subkhan, dosen Unnes dan penulis buku Pendidikan Kritis, dan Mas Kafha, praktisi homeschooler dan Koordinator Komunitas Literasi Ungaran.
Saya berkesempatan ngobrol sebentar dengan Mas Kafha tentang praktik homeschooling (HS).
Saya bertanya, "Apa yang berbeda dari HS dengan sekolah?"
Menurut Mas Kafha, ada dua hal mendasar yang membedakan HS dengan sekolah adalah waktu belajar dan perhatian.
Mas Kafha menerapkan waktu belajar yang cukup santai bagi anak keduanya. Dalam sehari, hanya belajar selama maksimal dua jam saja, dan setiap satu mata pelajaran, hanya sekitar 15 menit. Sedangkan di sekolah, anak-anak belajar dari pagi sampai siang hari, bahkan ada yang sampai sore (full day school).
Selain itu, dalam hal target atau ketuntasan belajar, mas Kafha tidak memaksakan anaknya harus bisa menyelesaikan satu materi tertentu dalam rentang waktu yang sudah ditentukan, tetapi menyesuaikan kemampuan dan daya serap anak.
Selanjutnya adalah perhatian. Ini memang menjadi nilai lebih dari praktik HS. Anak mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tua. Berbeda dengan sekolah, di mana satu guru bisa mengajar lebih dari 30 siswa dalam satu kelas. Belum lagi jika guru mengampu beberapa mapel, atau satu tingkat kelas yang lebih dari satu rombel.
Biasanya di sekolah, yang mendapat perhatian guru adalah anak-anak yang menonjol, baik dari segi prestasi akademik atau lainnya, dalam hal positif maupun negatif.
Perlu diketahui, praktik HS di sini adalah, pendidikan yang dilaksanakan di rumah dengan orang tua sebagai gurunya. Bukan anak belajar di rumah dengan mendatangkan guru dari luar. Jadi, orang tua benar-benar menjalankan tugasnya dalam mendidik, mengajar, mengawasi dan membantu mengembangkan potensi anaknya.
Hal lain yang membedakan homeschooling (HS) dengan sekolah adalah sosok guru.
Dalam pendidikan model HS, guru adalah orang tua anak sendiri, ayah dan ibu, dengan karakter aslinya sehari-hari. Di sini pembelajaran dengan model teladan sangat ditekankan.
Orang tua sebagai guru tampil apa adanya. Anak langsung bisa melihat karakter guru dan orang tuanya. Bagaimana ekspresi mereka sehari-hari ketika merasa senang, marah, jengkel dan lainnya. "Anak melihat langsung ekspresi ayah/ibunya ketika marah," cerita mas Kafha.
Berbeda dengan di sekolah. Terkadang, guru menampilkan kesempurnaan yang dibuat-buat. Atau menjadi berbeda antara ketika di sekolah dan di kehidupan sehari-hari.
@FahmiASD | Brabo, 22 Februari 2020
Apa yang berbeda dari homeschooling dengan sekolah?
Reviewed by Fahmi ASD
on
04.08
Rating:
Tidak ada komentar: