Membangun Kembali Nilai Kemanusiaan


Merajut Harkat - Putu Oka Sukanta 
Penerbit: PT. Elex Media Komputindo 
Tebal: 548 halaman 
ISBN: 978-979-27-8572-2
Resensator: Fahmi Ashshidiq 

Emangnya mengarang itu kayak bikin kursi? Bisa menerima orderan, pesanan begitu saja. Mencipta kesenian susah, kalau lagi maunya di WC juga jadi. Tak bisa diatur begitu saja oleh orang lain. Kalau kerajinan mungkin bisa, kayak tukang ukir, tukang gambar, tukang las kursi. Merajut Harkat, hlm. 314.

***

Kalimat di atas merupakan sepenggal dialog dalam sebuah novel karya Putu Oka Sukanta. Penulis kelahiran Singaraja, Bali, 29 Juli 1939 tersebut mempunyai keteguhan bahwa menulis berbeda dengan aktifitas berkarya lainnya. Menulis membutuhkan ketenangan dan perenungan mendalam akan suatu persoalan. Dan menulis harus berdasarkan realitas masyarakat. Banyak karya-kaya Putu yang mengangkat tema tentang persoalan-persoalan perempuan, pembantaian ’65, masyarakat Bali, dan Orde Baru. Dalam sebuah wawancara dengan Indoprogress, Putu mengatakan, “Jelas tulisan-tulisan sastra saya adalah media bagi saya untuk menyampaikan pikiran saya, perasaan saya, perlawanan saya, dan tuntutan saya. Dia tetap sastra, tapi kandungan isinya adalah seperti apa yang disebutkan barusan (persoalan-persoalan perempuan, pembantaian, dsb).”

Salah satu novelnya adalah “Merajut Harkat”. Berkisah tentang pengalaman traumatiknya selama di penjara dan diselesaikan selama 20 tahun setelah menghirup udara bebas, antara tahun 1976 dan 1977, dan selesai pada tahun 1997. Semua keluh kesah, kritik dan sikapnya terhadap penguasa yang menahannya ternarasikan dengan apik dalam karya ini. Apa yang dilakukannya ini adalah sebuah usaha “Membebaskan Kemanusiaan”.

***

Merajut Harkat berkisah tentang Mawa, seorang guru sekolah yang ikut ditahan oleh penguasa pasca kejadian G/30/S. Setelah menonton film bersama Nio kekasihnya, catatan kelam kehidupan Mawa dimulai, dia ditangkap dan ditahan oleh penguasa tanpa proses pengadilan. Tahun itu memang terjadi penangkapan, penyiksaan, penganiayaan, penahanan dan semua tindak kejahatan kemanusiaan terhadap siapa saja yang aktif dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), diduga PKI atau aktif di lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan PKI. Padahal Mawa hanya seorang guru dan hanya aktif di sebuah organisasi di sekolah tempat ia mengajar.

Malam itu Mawa ditangkap bersama Bejo, kawan sekaligus pembantunya di rumah. Mereka berdua langsung dibawa ke Muara Karang. Tertangkapnya Mawa tak lepas dari orang yang sebelumnya ia kenal, seorang kader PKI yang membelot, berkhianat dan menjadi informan penguasa. Menjual harga diri dan ideologi demi ‘kebebasan’ sesaat.

Sejak itu, hidup Mawa hanya terbatas di dalam barak bersama para tahanan politik lainnya. Berpindah-pindah dari satu sel ke sel lainnya, juga dari satu penjara ke penjara lainnya. Manusia tak lebih berharga dari barang (benda).
Beda tahanan dan barang sedikit sekali.
Semua benda punya naa seperti tahanan.
Semua benda punya fungsi seperti juga tahanan.
Semua benda punya harga seperti juga tahanan.
Semua benda punya umur seperti juga tahanan.
Semua benda ada pemiliknya seperti juga tahanan.
Semua benda tidak bisa menolak kalau dipindahkan seperti juga tahanan.

Semua benda tidak punya kaki tangan, tidak seperti tahanan.
Semua benda tidak punya rasa rindu, tidak seperti tahanan.
Semua benda ditandai dengan nomor seperti juga tahanan.
Semua benda kalau hilang atau rusak ada yang sedih, tidak seperti tahanan di mata penguasa.
Semua benda bisa dihancurkan sesukanya seperti juga tahanan.
Semua benda tidak punya keinginan, tidak seperti tahanan.
Semua benda diatur oleh hukum tidak seperti tahanan.
Semua benda dikuasai pemiliknya seperti juga tahanan di tangan penguasa.
Semua benda tidak bisa mengutuk tidak demikian halnya dengan tahanan.
Semua benda tidak perlu makanan dan minuman tidak demikian halnya tahanan.
Semua benda bisa digudangkan demikian halnya tahanan.
Semua benda bisa dibuang atau dikubur di mana saja seperti halnya tahanan. -Merajut Harkat/Hlm. 388-389
Di dalam tahanan membuat semua orang harus waspada, tak boleh mudah percaya pada seseorang, tak boleh banyak bicara juga jangan sampai diam membatu.
Banyak merokok kena TBC, banyak bengong jadi PA, banyak duduk kena wasir, banyak makan angin beri-beri, banyak bacot dipukul petugas, banyak kuasa jadi diktator, banyak duit jadi serakah, tapi banyak... pokoknya kalau kebanyakan jadi penyakit. -Merajut Harkat/Hlm. 395
Di dalam tahanan tempat terjadinya penyiksaan tanpa rasa kemanusiaan.

Di dalam pengadilan nanti pasti kuping Pak Tjong akan menceritakan apa yang pernah ia dengar dari mulut interogator, caci maki. Matanya akan menceritakan ia pernah melihat orang diseret truk sampai mati. Kakinya menceritakan bagaimana sakitnya ditindih kaki meja yang diduduki pemeriksa. Semuanya tidak bisa berbohong. -Merajut Harkat/Hlm. 363
Semua kejadian itu tak ada yang tahu persis seperti apa kejadiaannya. Kabarnya ada tujuh jenderal ditangkap, dipotong alat kemaluannya, disayat-sayat oleh aktifis gerwani, mayatnya dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya. Kabarnya juga otak semua itu adalah partai komunis terbesar di Asia, PKI. Tapi itu semua hanya kabar burung yang tak bisa dipastikan kebenaran atau kesalahannya. Yang tahu persis mungkin hanya Tuhan dan sang Jenderal.

Ya, perang spionase. Karena ini perang yang sangat rahasia sifatnya maka orang awam tidak ada yang tahu. Orang CC pun tidak tahu, apalagi Bung. Bahkan orang-orang yang terlibat langsung pun tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Mereka hanya tahu sepotong-sepotong, sebatas pada tugas yang diberikan. Bahkan kadang-kadang mereka tidak tahu untuk apa melakukan perintah itu dan bagaimana kelanjutannya... Laksana perintah, ambil Jenderal A. Ya sudah, sampai di situ. Tugas selesai kalau si jenderal sudah diserahkan mati atau hidup kepada atasan. Bahkan mungkin yang memegang kendali bisa saja tidak ada di sana... Bisa di rumahnya atau di tempat lain. Ia tinggal memerintahkan kepada penghubung yang mendatanginya. -Merajut Harkat/Hlm. 455
Menurut catatan sejarah, apa yang terjadi pada tahun 1965-1966 adalah sebuah kekerasan kemanusiaan yang paling kejam, sadis, tak manusiawi. Bisa sejajar dengan apa yang dilakukan oleh Belanda terhadap pribumi Hindia-Belanda atau Hitler terhadap bangsa Yahudi.
 Sejelek-jeleknya Soekarno, ia tidak pernah melakukan perburuan manusia kayak sekarang, juga tidak melakukan penghinaan terhadap harkat manusia.... Musuh-musuh politiknya ditangkapi, tapi tidak lama. Bukan penangkapan massal. Belanda menahan dan membuang orang di tahun 1926-1927 sekitar emat ribu orang dan yang ditahan sekitar sepuluh ribuan, tapi segera dibebaskan. Pemimpin bangsa di tahun ’20-an dan ’30-an juga banyak ditahan, tapi jelas alasannya dan diperlakukan dengan cara-cara kemanusiaan. Belanda juga menghancurkan organisasi yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa, tetapi sekarang penguasa menghancurkan semua organisasi yang berjuang untuk demokrasi dan rakyat. Soekarno dalam mempertahankan kekuasaannya tidak luput dari pemenjaraan tahanan politik, untuk membungkam kritik-kritik terhadap kekuasaannya. Soekarno menghukum orang yang terlibat dalam pemberontakan melawannya dan membebaskan yang tidak terlibat. Jumlahnya tidak sampai ribuan orang. Dala sejarah bangsa Indonesia, rezim sekarang paling banyak menahan, membunuh dan mengadili lawan politiknya. -Merajut Harkat/Hlm. 410-411
Sang Jenderal, yang telah mengkudeta Sang Proklamator dari kursi kepresidenan, yang mengaku melaksanakan nilai-nilai Pancasila, nyatanya hanya menjadi slogan semata.

Pancasila itu kan kayak ember kosong yang dikeramatkan. Tergantung yang berkuasa, mau mengisi apa di dalam ember itu. Ember bisa juga dipakai untuk mentungi kepala kita, kayak sekarang. Maunya kita, Pancasila itu diisi dengan ajaran kemanusiaan, keadilan sosial, atau Ketuhanan Yang Maha Esa, Adil, Pengasih dan Pengampun, tapi kalau yang kuasa maunya lain? Nyahok lu. Penguasa sekarang sudah melebihi Tuhan, mana bisa diajak bersajak Pancasila. Mau apa dengan lomba sajak Pancasila, mau memengaruhi penguasa? Mau menunjukkan bahwa kita juga Pancasilais? Mana ia percaya, pantatnya pun dijilati ia tidak akan membebaskan kita. -Merajut Harkat/Hlm. 315
Suatu ketika dalam penjara nyawa Mawa dan 12 temannya terancam. Ada salah seorang tahanan menulis surat yang isinya Mawa dan 12 orang tahanan telah merencanakan perayaan ulang tahun PKI di dalam penjara. Belum sempat surat itu dikirim ke kepala penjara, surat itu berhasil diamankan oleh Mawa. Handi, sang tersangka berhasil ditangkap dan diberi pelajaran, bahkan diinterogasi oleh Mawa. Tapi dia tak mau dianggap sama dengan penguasa.

Dulu aku diperiksa, tapi sekarang aku pemeriksa. Dulu aku disiksa untuk mengakui tuduhan, tapi sekarang aku tidak akan menyiksa agar Handi mengakui perbuatannya. Dulu aku dihinakan, martabat manuiaku dijadikan keset, tapi sekarang aku mau memeriksa manusia yang martabatnya harus kujunjung. Ini berbeda, ya berbeda. Karena ku punya moral. Karena aku manusia dan bukan binatang. Karena aku mau menghidupkan kemanusiaan dan bukanmembunuhnya. Sanggupkah aku tidak melayangkan tangan bila Handi bungkam? Aku sanggup. Sanggupkah? -Merajut Harkat/Hlm. 340-341
Kehidupan dalam penjara berjalan sampai kurang lebih sepuluh tahun. Mawa telah banyak belajar. Meskipun di dalam tahanan tak boleh ada pensil, buku dan alat tulis lainnya, mawa tetap mengasah skill menulis dan pemikirannya dengan cara-cara yang bisa dilakukan. Menghafal, menuliskan di tembok dan benda apapun. Mawa juga belajar bahasa Perancis, akupuntur dan bertukar ilmu dengan semua teman tahanan. Mawa menganggap semua itu adalah buku, buku yang hidup dan berjalan. Sampai suatu ketika ada kabar akan ada pembebasan terhadap semua tahanan politik.

***

Dalam novel Merajut Harkat, Putu juga mengkritik kampus-kampus di Indonesia. Lewat perenungan Mawa ketika dipindahkan ke blok N, blok kerangkeng singa.

Universitas ternyata sangat miskin dengan kehidupan, pikir Mawa. Di universitas ia menemukan rumus-rumus dan kesimpulan, jalan lurus yang kalaupun bercabang, semua cabangnya sudah jelas menuju ke suatu arah yang bisa dihitung dengan rumus yang sudah disediakan. Kerdil karena tidak mengikuti denyut setiap perubahan dan penyimpangan. Di universitas tidak pernah ada dosen yang menceritakan tentang dunia ini, semua kuliahnya hanya tentang dunia normal saja. Dunia yang ada aturannya. Padahal sekarang ia berada di dunia yang tidak ada aturannya, dunia sekehendak hati sang pemenang. Dunia dongeng, yang tidak pernah dibayangkan ada, sekalipun di dalam cerita-cerita dongeng itu sendiri. Dunia abnormal. Gila. -Merajut Harkat/Hlm. 463
Dan dari semua kata dan kalimat yang tersusun dengan bahasa lugas dan tegas namun tak mengurangi keindahan, ini yang menjadi favorit saya:
Kamu sudah melakukan penindasan juga padaku. Bercita-cita saja tidak boleh. Kamu lebih kejam dari penguasa. Setan. Mestinya kamu mendorong orang yang mau maju. -Merajut Harkat/Hlm. 476
Buku ini sangat bagus dibaca oleh semua masyarakat Indonesia, khususnya Mahasiswa sebagai pembuka wacana dan pengetahuan akan sejarah kelam bangsa. Juga sebagai pembelajaran, bahwa kehidupan tak selalu berjalan hitam-putih, baik-buruk, benar-salah, di balik semua itu ada proses yang harus dilalui. Dan Merajut Harkat menjadi guru paling baik dalam memaknai sebuah perjuangan mengangkat harkat dan martabat manusia, khususnya eks-tapol. []
Membangun Kembali Nilai Kemanusiaan Membangun Kembali Nilai Kemanusiaan Reviewed by Fahmi ASD on 23.42 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.