Setiap ada
berita tentang organisasi mahasiswa tertua dan terbesar sepanjang sejarah Indonesia
(tertulis di websitenya), perasaan deg-degan hinggap dan tangan saya refleks tak kenal henti bermain di layar handphone
untuk update berita tersebut. Yah, organisasi dengan warna
kebanggaan hijau-hitam itu memang tak jarang menebar sensasi. Setelah ramai
dengan kabar dana kongres yang mencapai 3 Miliar –lebih
besar dari dana pencegahan kebakaran di Riau—, rombongan
kader yang tidak membayar setelah makan di restoran, sampai ‘mengamuk’ di
pelabuhan. Dua hari ini, HMI—begitu nama organisasi itu— kembali ramai
di media setelah Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengucapkan pernyataan yang bagi sebagian orang dianggap kontroversial. “Mereka
orang-orang cerdas ketika menjadi mahasiswa, kalau HMI minimal LK I. Tapi
ketika menjadi pejabat, mereka korup dan sangat jahat.” Demikian statement Saut ketika menjadi narasumber
pada acara Talk Show “Harga Sebuah Perkara” di TVOne, Kamis (5/6).
Pasca kejadian tersebut, sontak kader dan
alumni Himpunan Mahasiswa Islam ramai mengecam Saut,
bahkan hingga pada upaya untuk memolisikan
dan menuntut Saut mundur dari jabatannya. PB HMI melalui situs resminya menginstruksikan kepada seluruh Badko dan Cabang
se-Indonesia untuk melaporkan pernyataan Shony Saut Situmorang kepada pihak
kepolisian setempat (Badko ke Polda, dan Cabang ke Polres dan Polrestabes) secara serentak
pada hari Senin, 9 Mei 2016.
Melihat
serentetan peristiwa yang menimpa HMI, saya jadi teringat dengan apa yang
ditulis Ahmad Wahib dalam buku catatannya: Pergolakan Pemikiran Islam.
Wahib sendiri pernah berproses dan
besar di HMI, tetapi kemudian menyatakan diri keluar dari organisasi itu pada
30 September 1969 dengan pertimbangan bahwa, keluarnya Wahib dari HMI akan
memberikan beberapa manfaat. Salah satunya, HMI aman dari ‘heteregonitas yang
keterlaluan’ dan bersih dari apa yang dinamakan ‘link golongan luar
tertentu’ di Jawa Tengah dan lebih memberikan keleluasaan batiniah pada diri Wahib
dalam mengembangkan pikiran dalam perkaderan diri di masa kemahasiswaan (1981: 44).
Wahib menulis
di catatannya tentang ciri-ciri apologia. Apologia adalah semacam pidato atau tulisan
yang dimaksudkan untuk pembelaan diri. Kata apologia menjadi terkenal berkat
jasa Plato yang menulis karangan Apologia Socrates (Pembelaan Socrates).
Dalam karangan itu Socrates membela dirinya di depan para hakim atas tuduhan
yang ditimpakan kepada dirinya bahwa, Socrates bersalah karena ia tidak percaya
pada dewa-dewa yang diakui oleh masyarakat kota kala itu. Socrates pun dianggap memperkenalkan kepada khalayak tentang praktek-praktek religius yang baru. Ia juga bersalah karena
mempunyai pengaruh yang kurang baik terhadap kaum muda. Hakim kemudian menjatuhkan hukuman mati terhadap Socrates. Ia menerimanya, meski kemudian meninggal di penjara karena meminum racun.
Apologia HMI
Manusia atau organisasi cenderung membuat apologi-apologi ketika terhimpit
atau terjebak pada sebuah masalah. Bukan justru berbesar hati mengakui
kesalahan jika itu salah dan menyatakan kebenaran jika memang benar. Menurut Wahib
ciri-ciri apologia antara lain; Pertama, kalau merasa
diserang, yang bersangkutan akan menangkis atau membela diri.
Kemudian kedua, ada kecenderungan
membangkit-bangkitkan kembali hal-hal yang lama. Dan Ketiga menurut Wahib, pelaku salah tidak jarang
mengagung-agungkan kejayaan masa lampau (1981: 68). Hal itulah yang menurut
saya sekarang ini menimpa organisasi mahasiswa tertua dan terbesar sepanjang
sejarah Indonesia itu. Dari beberapa teorema
diatas, sepertinya relevan dengan kondisi faktual organisasi tersebut, seperti
yang saya akan bedah dalam uraian berikut.
Kita lihat apa
yang dilakukan oleh kader dan alumni Hijau-Hitam dalam menangkis dan membela
diri. Ketika beredar kabar kongres HMI di Riau menelan dana APBD sebesar 3 Miliar, dengan enteng senior HMI yang sekaligus
Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla mengatakan itu (dana
kongres 3 miliar) adalah hal yang biasa. Pun ketika ada pernyataan Saut
Situmorang yang menghubungkan HMI dengan korupsi, banyak kader dan alumni HMI
yang menganggap pernyataan Saut tersebut tendensius dan tidak etis diucapkan
seorang pejabat Negara.
Selanjutnya
membangkit-bangkitkan kembali hal-hal lama dan mengagung-agungkan kejayaan masa
lampau. Banyak orang dan media bereaksi ketika mendengar kabar bahwa dana
kongres HMI di Riau menghabiskan dana APBD sebanyak 3 Miliar. Mulai dari mojok.co
yang menuliskan artikel satire Salah Apa HMI kok Dihujat? Dan Wahai Khidir
Bimbinglah Yakusa HMI di Jalanmu sampai indoprogress.com dengan
artikel; Buat Adik-adik HMI: Percayalah pada Allah bukan pada Tiga
Milyar. Tetapi ada juga yang dengan bangganya menulis artikel; Bayangkan
Wajah Politik Kita tanpa HMI. Dalam tulisan itu diceritakan bagaimana peran
HMI dalam awal-awal kemerdekaan dan sumbangsih kader-kadernya dalam
pemerintahan.
Dalam kasus
Saut ini, PB HMI mengeluarkan siaran resmi terkait peran HMI di masa lampau.
Bahwa HMI selalu hadir pada setiap perjalanan
bangsa Indonesia mulai dari berjuang mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, angkat senjata melawan PKI hingga tumbuhnya orde baru,
memprakarsai lahirnya reformasi, menguasai gerakan ekstra parlementer dan
membangun Indonesia di semua lini.
Tetapi
Yunantyo Adi, pegiat Komunitas Pecinta Sejarah Kota Semarang menanggapi berbeda
terkait pernyataan PB HMI tersebut. Mas Yas, begitu sapaan akrabnya,
berkomentar di akun facebooknya
bahwa statement PB HMI itu adalah penegasan bahwa kader-kader HMI tidak hanya
ikut demonstrasi pembubaran PKI dan penggulingan Soekarno, tetapi juga ikut
terlibat dalam penumpasan kader atau simpatisan PKI, khususnya peristiwa
pembantaian massal tahun 1965-1966. Sebuah pernyataan sikap yang justru membuka
fakta baru akan sejarah kelam bangsa Indonesia.
HMI tak Perlu Bubar
Semua itu sesungguhnya adalah narasi apologia yang disampaikan oleh para
kader dan alumni HMI. Membangun argumentasi sebagai bentuk pembelaan hingga mengungkit
sejarah perjuangan masa lalu. Mereka lupa bahwa memang ada kader dan senior
mereka yang terjerat kasus korupsi, seperti Anas Urbaningrum (Korupsi
Hambalang) dan Akbar Tanjdung (Korupsi Bulog). Atau tokoh-tokoh HMI yang
disorot atau diberitakan dalam kaitan masalah korupsi seperti Ahmad
Tirtosudiro, Bustanul Arifin, SH., Ir. Beddu Amang dan lainnya. Sampai yang
menimpa para aktivis HMI UIN Walisongo dan Universitas Semarang (USM) terkait
korupsi dana bantuan sosial (Bansos) Provinsi Jawa Tengah tahun 2011
(5/5/2015/merdeka.com).
Sempat Nur
Cholis Madjid mengeluarkan pernyataan tentang perlunya pembubaran HMI pada 27
Juni 2012 (liputan6.com), yang kemudian ditanggapi oleh ketua harian Korps
Alumni HMI saat itu, Tubagus Farich. Tubagus menilai pernyataan Cak Nur adalah
wujud dari sebuah otokritik yang biasa terjadi di organisasi tersebut. Otokritik menurutnya adalah bagian integral kehidupan organisasi
HMI.
Sejarah juga
mencatat bahwa dahulu Presiden Soekarno sempat berkeinginan untuk membubarkan
HMI karena dinilai kontra-revolusi dan reaksioner. Pun dengan DN Aidit, Ketua
PKI yang secara terang-terangan menginginkan pembubaran HMI saat berorasi di
depan para mahasiswa CGMI (organisasi mahasiswa PKI). Namun pembubaran itu
urung dilakukan Soekarno setelah berdialog panjang dengan Menteri Agama saat
itu, KH Saifuddin Zuhri. Akhirnya HMI batal dibubarkan dengan syarat, HMI akan
menjadi organisasi yang progresif dibawah
bimbingan Nasution, Roeslan Abdulgani, Syarief Tayeeb dan Syaifudin Zuhri
sendiri (santrinews.com).
Seharusnya dengan
adanya segala rentetan peristiwa diatas, baik maupun
buruk yang menimpa HMI mampu menjadi otokritik dan semangat memperbaiki diri
menjadi organisasi yang progresif. Siapa yang tidak percaya dengan sumbangsih
pemikiran kader-kader HMI? Tetapi kemudian jika memang benar-benar ada kader
atau alumni yang korupsi dan jelas-jelas merugikan Negara, masyarakat tidak
bisa ditipu lagi dengan apologi-apologi.
Sebagai
penutup, menarik menyimak apa yang dikatakan Wahib dalam catatannya, “Membuktikan
diri baik, bukanlah dengan menyatakan diri baik, tapi dengan kata dan kerja
yang baik. Membuat orang lain bahagia bukanlah dengan menyuruh orang itu
bahagia, tapi dengan kata dan kerja yang membahagiakannya. Mengatakan orang
lain salah, bukanlah dengan mengumumkan orang itu jelek, tapi dengan
gambaran-gambaran yang akan membuat umum berkesimpulan tidak pada orang itu.
Membuat orang lain menangis, bukan dengan menyuruhnya menangis, tapi dengan
kata dan kerja yang akan membuat orang itu sedih dan menangis. Membuktikan diri
terbuka, bukanlah dengan mengatakan bahwa diri sudah tidak tertutup, tapi
dengan kata dan karya yang menunjukkan dan mengesankan keterbukaan kita. Secara
sederhana saya pikir inilah yang disebut cara kultural.”
Wallahu A’lam
bi al Shawaab
Tabik
NB:
Tulisan ini telah dipublikasikan di mahasiswabicara.com.
Sebelum dipost di sini, telah diedit oleh M. Andi Hakim.
Tulisan ini telah dipublikasikan di mahasiswabicara.com.
Sebelum dipost di sini, telah diedit oleh M. Andi Hakim.
Apologia Hijau Hitam
Reviewed by Fahmi ASD
on
06.41
Rating:
Tidak ada komentar: