Berawal dari Kesepian Menjadi Inspirasi Perdamaian


Ketika orang direndahkan, mendapat ketidakadilan, saat itu pula derajat manusia disamakan dengan hewan,
Malam hening disinari lampu temaram, beberapa orang bercengkerama ditemani kopi hitam. Suasana kedai kopi ABG di Jalan Raya Patemon 48G Patemon, Gunungpati, Kota Semarang belum terlalu ramai ketika saya dan teman datang malam itu, Rabu (30/3). Kemudian saya duduk, sedangkan teman saya memesan kopi.

“Diskusinya belum dimulai?” tanya saya kepada seorang pemuda.

“Belum,” jawabnya sambil menghidangkan kopi rempah di depan saya.

Sesuai informasi yang saya lihat di facebook Litersi Press, malam itu akan diadakan diskusi dan bedah novel Rima-rima Tiga Jiwa. Menghadirkan Akasa Dwipa (penulis), Dwicipta (penyunting) dan dimoderatori Gunawan Budi Susanto-atau yang lebih akrab disapa Kang Putu. Sembari menunggu diskusi dimulai saya membaca surat kabar dan menikmati kopi yang telah ada.

***

Kang Putu membuka diskusi santai dan bedah novel malam itu dengan mempersilahkan sang narasumber, Akasa Dwipa dan Dwi Cipta duduk bersamanya di ‘panggung’ sederhana. Sebuah meja dengan sampul kain kotak hitam putih. Kemudian mengawali dengan sebuah statement,

“Hanya orang edan yang mau nulis novel di jaman sekarang, seharusnya kaum seperti ini dipelihara oleh Negara.”

Itu merupakan sebuah kritik Kang Putu terhadap kondisi masyarakat dewasa ini. Tidak banyak pemuda yang bergelut di dunia literasi, terlebih sastra.

“Banyak fakultas sastra di Semarang, tetapi yang hadir di sini mala mini hanya dua orang,” kelakar Kang Putu.

Ia juga menyayangkan fakultas-fakultas sastra tidak banyak berbicara tentang sastra apalagi sampai menghasilkan karya sastra. “Dosen bisanya hanya menyuruh mahasiswa menulis, tapi dia sendiri nganggur,” komentarnya tegas.

Untuk itu, sebuah kegembiraan dan apresiasi positif, masih ada juga penulis muda yang menghasilkan karya sastra (novel) dengan tema yang sangat jarang diangkat oleh penulis-penulis kebanyakan. Akasa Dwipa dalam novel keduanya ini, mengangkat tentang realita kehidupan kaum pinggiran, yaitu dunia prostitusi bersama para pelakunya.

“Memang begitu seharusnya. Penulis sastra tidak hanya bersandar kepada imajinasi, tetapi juga pada realita hidup.”

Cukup dengan pengantarnya, Kang Putu mempersilahkan Dwi Cipta, selaku penyunting dan juga pemilik penerbitan Literasi Press untuk berbicara tentang novel yang ia sunting.

Menantang Kemapanan

Kedai semakin ramai, beberapa orang datang untuk mengikuti diskusi sambil ngopi atau makan malam. Perhatian beralih kepada Dwi Cipta yang menjadi pembicara pertama. Banyak bercerita tentang proses editing novel Rima-rima Tiga Jiwa.

“Tema yang jarang diangkat oleh penulis-penulis lain. Dan tokoh-tokohnya berasal dari ekonomi kelas bawah.” Komentarnya mengawali pembicaraan.

Novel yang disuntingnya ini, berkisah tentang Silvy, seorang waria bernama asli Sagino yang sedang remuk-redam hatinya mendapati kenyataan bahwa kekasih yang lama menemaninya kini memilih hidup dengan seorang perempuan. Ada juga Susanto, kekasih Silvy yang telah hidup bersama selama sepuluh tahun, namun akhirnya meninggalkannya karena telah memiliki kekasih baru, seorang perempuan. Juga tentang Rima, seorang pekerja seks dan perempuan kedua yang menarik hati Susanto dan menyakiti hati Silvy untuk kedua kalinya.

“Sosok Susanto adalah laki-laki yang punya keinginan besar untuk menulis,” ujar Dwi Cipta. “Lewat tokoh Susanto dalam novel ini diceritakan juga cara kreatif menulis,” lanjutnya.

Tantangan besar bagi penulis novel adalah bagaimana cerita yang disajikan kuat tertanam dalam pembaca dan menampilkan persoalan-persoalan masyarakat dengan beberapa solusi utopis. Novel ini sebagai tantangan serius bagi masyarakat mapan tentang pandangan sosial dan agama serta realita masyarakat pinggiran.

Akan tetapi ada juga titik lemah dalam novel ini. Ketika tokoh-tokoh menjelaskan persoalan kaum terlantar yang seharusnya dipelihara oleh Negara, penulis menawarkan solusi mengatasi persoalan itu dengan kasih sayang. ”Tetapi setelah saya berdiskusi dengan penulisnya, ternyata dia punya rencana sendiri untuk menjelaskan kasih saying itu dalam novel selanjutnya,” ungkap Dwi Cipta.

Hadirnya novel ini, menurut Dwi Cipta juga sebagai jawaban atas opini yang dibentuk oleh Orde Baru terkait dunia sastra di Indonesia. Anggapan yang dibangun Orde Baru, sastra Indonesia krisis, tidak bisa menghasilkan karya sastra yang bagus.

“Itu pernyataan yang tidak berdasar. Orang yang bilang seperti itu, orang yang jarang main dan jarang bertemu dengan orang banyak,” kritiknya keras. Anggapan krisis sastra harus ditebang, dengan menemukan karya yang bagus dan mensyiarkannya. “Yang krisis adalah penyikapan pemerintah terkait dunia sastra,” lanjutnya.

Selain itu, Dwi Cipta juga sharing tentang dunia editing. Kebanyakan editor hanya mengedit yang salah ejaan saja (typo), tetapi jarang sekali sampai mengedit cerita; logika dan alur cerita.

Sebelum saya menyunting novel ini, saya mengajukan syarat kepada penulisnya, bahwa nanti harus ada proses dialog dan diskusi terbuka terkait alur dan logika cerita.”Dan penulis menyanggupi,”

Pegiat Literasi ini juga bercerita bahwa di Amerika, penulis menyerahkan naskah ke penerbit, kemudian penerbit akan memilihkan editor. Selanjutnya penulis akan ‘berkelahi’ dengan editor, bahkan sampai penulis depresi. Berbeda jika di Inggris, editor hanya mengedit typo.

Kesepian yang Membawa Inspirasi Perdamaian

 “Mungkin berawal dari kesepian, atau dari kenyataan hidup lari mengatasi keadaan yang tidak nyaman.”

Jawaban Akasa Dwipa, penulis Rima-rima Tiga Jiwa menanggapi pertanyaan, berawal dari mana proses kreatif menulisnya.

Kemudian, Akasa juga menceritakan tentang dirinya, seorang anak desa, dari Batang pergi belajar ke sebuah kota yang tenang, Solo. Selalu merasa sendiri di pondok pesantren, membuatnya sering menyendiri. Sampai suatu ketika dirinya melihat seseorang yang ‘berbeda’ dari orang kebanyakan, yang belakangan baru ia ketahui adalah seorang Waria. Dia bertekad menuliskan kisah tentang Waria tersebut.

Proses kreatifnya menulis juga bermula dari sebuah kenyataan hidup, yang banyak orang, khususnya remaja mengalaminya, putus cinta.

“Berawal dari putus cinta saya bisa memandang semua.” tuturnya.
Menurut Akasa, orang yang menulis sastra mempunyai bakat tersendiri dan kebanyakan adalah sosok yang kesepian, jiwa pemberontak. Karena di dunia ini kita tidak akan pernah merasakan ketenangan, “kita merasa tenang jika berada di kamar sendiri, rumah dan kampung sendiri,” lanjut Akasa.

Kemudian pria berambut gondrong itu berkisah tentang proses penulisan novelnya. “Saya menulis novel ini hanya tiga minggu, berpindah-pindah tempat. Tidak makan dan hanya minum air kolah (bak mandi) dan kran,” ceritanya.

Minggu pertama di daerah Jajar (Solo), minggu kedua di daerah terminal dan minggu ketiga di Gawok, di pinggir rel kereta api, di sebuah rumah jelek dengan pinjaman komputer.

Lebih lanjut mengatakan, “Waktu itu saya mempunyai tekad, saya harus menulis dan menyelesaikan novel ini. Kalau sampai tidak selesai, saya bisa gila,” Selain itu, motivasinya menulis novel adalah untuk mengikuti lomba, karena jujur waktu itu sangat membutuhkan uang.

Kasih Sayang sebagai Solusi

Seperti yang disebutkan Dwi Cipta, dalam Rima-rima Tiga Jiwa ini, penulis menawarkan sebuah solusi terhadap segala permasalahan dan konflik yang terjadi, yaitu kasih sayang. Sepintas memang terasa naif dan utopis, tetapi penulis memiliki alasan dan data yang kuat akan hal itu.

“Insya allah, penjelasan mengenai kasih sayang akan saya tulis di novel selanjutnya,”

Ada latar belakang kisah yang membawanya mempunyai kesimpulan kasih sayang sebagai solusi terhadap semua persoalan.

“Berawal dari anjing sakit yang saya temukan,” tuturnya.

Suatu ketika dia melihat ada anjing sakit, kemudian dia ambil dan dirawat sampai sembuh. Sejak itu dia menghargai hewan sebagaimana ia menghargai manusia, sama-sama makhluk hidup. Tak boleh ada kekerasan dan diskriminasi. Dan sejak itu pula ia memutuskan menjadi seorang vegan (vegetarian).

“Ketika orang direndahkan, mendapat ketidakadilan, saat itu pula derajat manusia disamakan dengan hewan,” pungkasnya. []
Berawal dari Kesepian Menjadi Inspirasi Perdamaian Berawal dari Kesepian Menjadi Inspirasi Perdamaian Reviewed by Fahmi ASD on 00.58 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.