Membaca
karya monumental Pramodya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah hingga Rumah Kaca), memberikan kesan mendalam bagi
saya. Saya seperti diajak kembali ke masa lalu, ikut bersama-sama merasakan
perjuangan Minke, sang tokoh utama, membentuk kepribadian bangsa.
Setiap
episode dari penggalan roman itu mempunyai kisah tersendiri. Khusus dalam Jejak
Langkah, saya diajak melihat perjuangan Minke melawan kekuasaan Belanda yang
sudah berabad-abad lamanya. Bukan perlawanan senjata yang menjadi pilihan.
Bersama Syarikat (baca: organisasi) dan Medan (baca: jurnalistik), Minke dengan
perlahan membuka mata hati dan meletupkan semangat perjuangan pribumi.
Memberikan bacaan dan informasi tentang bahaya kolonialisme dan pentingnya
nasionalisme.
Minke
mencatatkan sejarah: pribumi pertama yang mendirikan, menerbitkan dan memimpin
sebuah surat kabar. Bersama “Medan” Minke memberikan informasi penting dan
banyak membantu pribumi dalam segala persoalan. Selain itu, Minke juga
membangun kesadaran berorganisasi. Setelah memilah dan menimbang, akhirnya
dipilih Syarikat Dagang Islamijah sebagai wadah berkumpulnya pedangang muslim
pribumi, melindungi dan menuntut hak-haknya. Dengan dua kendaraan itu, Minke
menyerukan tiga hal: meningkatkan boikot, berorganisasi dan menghapuskan
kebudayaan feodalistik.
Sangat
tepat memang pesan yang disampaikan Pram, “didiklah rakyat dengan organisasi
dan didiklah penguasa dengan perlawanan.” Dalam sejarahnya, awal semangat
perjuangan kolektif para pejuang kemerdekaan dan pendii bangsa diwujudkan dengan mendirikan Sarekat Dagang Islam (1905), Boedi
Oetomo (1908) dan disusul kemudian Indische Partij (1912). Tidak
hanya menumbuhkan semangat berkumpul dan membangun kesadaran kolektif,
propaganda juga dilancarkan melalui terbitan surat kabar semacam Medan Prijaji, De Expres
dan Harian Kaoem Moeda.
***
Perjuangan
telah dilaksanakan, sejarah telah mencatat. Sekarang saatnya melanjutkan perjuangan
dan mencatat sejarah baru.
Sebagai
kaum muda (baca: mahasiswa) sangat tepat dan menjadi kewajiban, selain kuliah
juga ikut menempa diri dalam organisasi. Seperti di UIN Walisongo Semarang. Di
kampus hijau ini ada bermacam organisasi. Mulai yang sifatnya politis,
pengembangan bakat minat atau kaderisasi.
Dalam
sebuah organisasi, khususnya yang bersifat kaderisasi akan terjalin interaksi
antar anggota, dan membentuk ikatan senior-junior. Senior dengan segala daya
upaya akan memberikan pencerahan kepada penerusnya (baca: junior) tentang
ideologi organisasi dan bermacam pembahasan. Dengan tujuan agar sang junior
berada dalam shiroth al mustaqim (jalan lurus), jangan sampai tersesat.
Jika kemungkinan tersesat pun, pastikan tersesat di jalan yang benar. Tak heran
juga julukan “Nabi” tersemat di pundak mereka. Karena memang mereka seperti
para Nabi bahkan Rasul, yang membawa pesan risalah dan harus disampaikan. Konsekuensinya, tak jarang para
“Nabi” itu diasingkan atau dikucilkan.
Memang
tak semua senior mempunyai kepribadian sempurna dan memberi pencerahan demi
kepentingan organisasi, meminjam istilahnya Pak Ubaidillah Ahmad - akan ada banyak
kehendak kuasa yang menyelimutinya.
Sebagai
junior yang baik, tentu akan selalu sendiko dawuh dengan apa yang disampaikan senior. Dan
memang, ada banyak hal baru yang diketahui setelah bergabung dengan organisasi
dan banyak berinteraksi dengan para pendahulu. Seperti senior, ada juga junior
yang ‘bandel’ dan masa bodoh dengan senior. Biasanya junior semacam ini orang
yang ‘telat’ masuk kampus, dan fenomena ini banyak ditemukan di UIN Walisongo.
Setiap
mahasiswa yang aktif di organisasi, hampir pasti akan mengalami semua fase itu,
junior juga senior. Masih teringat jelas, dulu sebagai orang baru di kampus, saya
nurut saja ketika diajak ngobrol santai di kampus selepas kuliah atau ngopi
di kucingan oleh beberapa senior. Lhawong gratis heuheu. Obrolan
selalu berjalan menarik, karena tak satu arah. Tetapi ada timbal balik dan tak
jarang adu argumentasi. Diskusi kecil itu sebagai proses menempa diri dan upaya
mendekatkan diri dari hati ke hati.
Saya
juga baru saja, dan sampai sekarang mengalami fase di mana saya menjadi yang
dituakan (baca: senior). Disebut senior hanya karena lebih dulu masuk kampus
dan memiliki pengalaman lebih. Sebenarnya jika ditilik dari segi keilmuan
mungkin saya tak lebih pandai dari para mahasiswa baru (baca: junior). Dan
kurang lebih sama dengan yang dilakukan para pendahulu, saya juga tak jarang
mengajak ‘adik-adik’ ngobrol di kucingan atau di kampus selepas kuliah.
Sebagai
senior, idealnya bersikap toleran, terbuka dan tidak menanamkan fanatisme buta
terhadap organisasi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa usia mahasiswa baru
adalah masa-masa pubertas dan pencarian jati diri. Biarlah seorang kader tumbuh
dan berkembang dengan potensinya tanpa intervensi berlebihan dari siapapun, apalagi dari senior. Ini
yang coba saya lakukan.
Tetapi
tak jarang pula ada senior yang suka mengagung-agungkan dirinya, menanamkan
pengaruhnya kepada adik-adiknya yang masih polos. Hal itu diimbangi dengan
beberapa kader yang dengan rela hati mau menjadi pengikut sang panutan
tersebut.
Untuk
kasus semacam itu, bolehlah kiranya menyitir kata-kata Soe Hok Gie, “Guru
Senior bukanlah dewa dan selalu benar. Guru Senior yang tidak tahan
kritik boleh masuk keranjang sampah.”
Terlepas
dari bermacam jenis senior-junior, berorganisasi harus tetap dijalankan dengan
tangan dan pikiran terbuka. Membuka diri terhadap segala kemungkinan yang
terjadi, mampu menerima pendapat yang berbeda dan bisa bergaul dengan banyak
kepribadian. Sama dengan Minke ketika menjadi pemimpin Syarikat dan
Medan. Menempatkan diri sebagai kawan yang sejajar dengan para ‘pegawainya’, tanpa melihat status sosial,
menghilangkan feodalisme yang mengakar kuat dalam budaya jawa.
Untuk
itu penting menanamkan dalam hati, fikiran dan tindakan; organisasi sebagai
alat perjuangan bersama masyarakat dan perlawan terhadap segala ketidakadilan
dan kesewenang-wenangan penguasa. Karena kita terpelajar, sudah seharusnya adil
sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.
Tabik.[]
#WritingChallenge9
dengan tema ’Senior’
Minke, Syarikat dan Medan; Sebuah Cerita Perjuangan dan Perlawanan
Reviewed by Fahmi ASD
on
10.47
Rating:

Tidak ada komentar: