Menjadi Gus


Informasi Buku:
Penulis : Dian Nafi
Editor : Khanifah
Desain Sampul : Irfan Fahmi
Penerbit : Kaki Langit
Terbit : Desember 2014
Tebal : 198 Halaman
ISBN : 978-602-8556-37-8
Resensator : Fahmi Ashshidiq

Pondok Pesantren selalu memiliki sisi menarik untuk dikisahkan. Sebagai lembaga pendidikan Islam dan pengajaran akhlak, Ponpes memiliki ‘tradisi’ sendiri dalam kepemimpinan dan pengelolaannya. Kyai, sebagai pengasuh dan penanggungjawab utama, tentu menginginkan generasi penerusnya mampu mengemban estafet kepemimpinan. Seorang anak Kyai (Gus) akan dibekali dengan bermacam ilmu, terutama agama demi untuk tujuan tersebut.

Rupanya hal inilah yang menarik ‘Sang Pecinta Purnama dan Penikmat Hujan’ – Dian Nafi untuk menuliskan kisah pesantren dalam novelnya, Gus.

***

Berkisah tentang Mafazi, putra dari Kyai Sahlan dan Ibu Nyai Laili yang menjalani kehidupan seorang Gus. Sebagai sulung dan satu-satunya anak lelaki, Mafazi mendapat perhatian tersendiri dari kedua orang tuanya. Besar harapan, kelak akan menjadi penerus kedua orang tuanya, memimpin pesantren.

Tapi Mafazi sama sekali tak berminat dengan rencana itu, tidak berambisi menjadi pemimpin pesantren. Karenanya, dia lebih sering di Jogja, tempatnya kuliah dari pada di lingkungan pesantren. Di Kota Gudeng itu, Mafazi menghabiskan waktu beserta teman-temannya, nonton film, nongkrong dan jalan-jalan.

Tetapi semua berubah ketika hal yang tak pernah ia bayangkan terjadi. Umminya, Ibu Nyai Laili jatuh sakit dan meninggal. Jiwa Umminya terguncang dan kesehatannya terus menurun setelah salah satu bangunan Pesantren yang ia rintis dan besarkan, hangus dilalap si jago api.

Pasca kejadian itu, hati Mafazi mulai melunak, fikirannya sedikit berubah. Ingin bersunggung-sungguh belajar dan segera selesai kuliah. Karena sadar, posisinya sebagai anak laki-laki satunya, harus bertanggungjawab terhadap masa depan pesantren.

Kemudian satu per satu masalah mulai muncul. Diawali Abahnya yang ingin menikah lagi dengan salah seorang santriwati generasi pertama pesantren Karomah, Safina. Yang dengan serentak ditolak oleh kedua kakak Mafazi, Nurul dan Wahdah. Sedangkan Mafazi tidak keras menolak, juga tidak rela Abahnya menikah lagi.

Setelah melalui proses negosiasi yang cukup alot, akhirnya hajat pun terlaksana juga. Resepsi pernikahan Kyai Sahlan dengan Safina, yang dahulu menjadi abdi ndalem dan merawat Nurul dan Wahdah kecil, terselenggara dengan sederhana. Dan Safina adalah janda dengan anak satu, Harun.
Seolah tak berdamai dengan waktu, kehadiran Harun menjadi soal tersendiri bagi Mafazi. Ia merasa, ‘posisi’nya terancam. Harun, anak ‘ingusan’ itu telah diberikan beberapa tanggung jawab ikut mengajar di pesantren dan sekolah. Selain cakap, Harun juga pandai ilmu agama. Mafazi merasa ‘gerah’ dan terbakar api cemburu.

Hingga pada suatu ketika Mafazi melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu pelosok desa di Jogja. Di sana, selain mendapatkan teman baru, Mia, Mafazi juga menemukan fakta bahwa ternyata Harun adalah seorang pekerja keras, dan mempunyai dedikasi terhadap pendidikan. Di sudut desa itu, Harun pernah mengajar ngaji anak-anak desa tanpa bayaran, sebelum akhirnya ikut membantu di Pesantren Karomah.

Beberapa kejadian itulah yang merubah pandangan Mafazi terhadap adik tirinya itu. Apalagi kemudian Harun sering membantu dan memberikan masukan-masukan kepada Mafazi untuk kelancaran penulisan skripsinya. Dan ternyata, Mia teman satu posko KKN Mafazi, sejak awal mendengar nama Harun juga menaruh simpati dan kekaguman. Mafazi khawatir, jangan-jangan gadis itu suka terhadap Harun. Tetapi semua terkuak di akhir cerita, bahwa semangat Harun mengajar di kampung itu, karena salah satunya tertarik dengan gadis desa di sana.

“Ah, Iya. Dulu sempat aku larang Harun mengajar di daerah pelosok itu. Tapi kayaknya hatinya kadung kepincut dengan salah seorang gadis putus sekolah yang ada di desa itu,” jelas Safina panjang lebar.

Ah, ternyata Harun tidak seheroik itu? Mafazi tersenyum sendiri.

***

Secara keseluruhan cerita dari Novel Dian Nafi ini bagus. Mampu menggambarkan bagaimana kondisi dan kehidupan di pesantren beserta beberapa permasalahannya. Seperti masalah kepemimpinan di pesantren, pandangan masyarakat terhadap keluarga Kyai, pengelolaan beberapa usaha dan lembaga-lembaga pendidikan. Dan yang paling penting, tentang kehidupan seorang Gus. Sebagai anak laki-laki dari seorang Kyai, Gus memiliki beban dan tanggung jawab yang tidak mudah. Masa depan pesantren ada di pundaknya. []

Menjadi Gus Menjadi Gus Reviewed by Fahmi ASD on 10.19 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.