Mati, Bertahun yang Lalu
Penulis:
Soe Tjen Marching
Cetakan Pertama:
Oktober 2010
Halaman:
153 halaman
ISBN:
978-979-22-6345-9
“Kematian
tak sesederhana konsep surge-neraka yang selama ini dikenal di beberapa ajaran
agama.”
-Ratih
Kumala-
Membaca
novel yang hanya 153 halaman ini, cukup membuat kita selalu berfikir dan
merenungi tentang arti dan makna kehidupan dan kematian. Bahwa kematian yang
sudah pasti bagi setiap orang tak sesederhana yang kita fikirkan selama ini.
Setelah kematian selalu ada yang ditinggalkan, dikecewakan, atau bahkan merasa
gembira dan beruntung. Pun jalan menuju kematian, tiada yang bisa menduga.
“Aku sudah mati bertahun-tahun yang lalu. Namun tak seorang pun telah
menguburku, karena mereka belum tahu. Padahal aku sudah mati tidak hanya
sekali, tapi dua kali”
Seorang
karyawati telah mati di meja kerjanya setelah menggelar pesta penghargaan untuk
dirinya. Sebelumnya dia selalu merasa tidak bahagia dengan hidupnya, dan merasa
iri dengan kehidupan orang lain yang bahagia. Setelah ia mati, justru ingin
hidup kembali dan mencari kebahagiaan itu. Ia mati namun tetap hidup.
Dia telah menjadi
mayat, tak ada seorang pun tau, bahkan keluarnganya. Tetapi anehnya, ibunya
mengundang semua anggota keluarga untuk merayakan ulang tahunnya. Ia pun datang
dengan menyeret tubuhnya. Berpura-pura menjadi orang hidup. Harus mengedipkan
mata setiap 5 atau 6 detik sekali, menghirup udara setiap waktu sambil
mengembang-kempiskan dada, dan membuat bola mata memantulkan cahaya.
Akhirnya
ia bosan dengan kepura-puraan. Ia ingin menunjukkan kepada keluarganya bahwa ia
telah mati. Ia memasukkan lilin-lilin ulang tahun yang menyala ke dalam mulutnya.
Semua menjerit. Hanya mamanya yang tidak, ia pingsan.
Apakah aku
mati karena aku begitu tidak bahagia dalam hidup? Atau hidup yang sudah tidak
bahagia denganku? Apakah aku yang menolak hidup atau hidup menolakku?
Setelah
kejadian itu, ia bertekad untuk bisa hidup kembali. Ia tidak ingin melihat
mamanya sedih dan mendertia. Kemudia ia bertekad mencari arti kebahagiaan dari
orang-orang sekitarnya. Dari Papanya, Eneas - kakanya, Sara, Adi dan Rahma - teman-temannya.
Dari papanya,
ia melihat bahwa papanya terlalu mencintai kehidupan, padahal hidup
membencinya. Papa telah lama sakit dan tak kunjung sembuh. Tubuh dan
organ-organnya mulai digerogoti kuman dan bakteri, tetapi papa masih bertahan,
selalu meminta hidup untuk bersamanya dengan menggapai-gapai tumpukan pil dan
masker oksigen.
Dari Eneas,
dia ingin banyak belajar tentang kebahagiaan dan bagaimana menghadapi kehidupan
yang penuh penderitaan. Kakaknya itu telah sukses menggenggam hidup. Prinsip
hidup Eneas sederhana, hidup adalah untuk dinikmati, tidak usah terlalu banyak
mikir.
Bila hidup adalah guru, Eneas adalah murid populer. Dengan ketenangannya mampu menjawab segala pertanyaan hidup. Bahkan ia dapat menghindar dari tragedi 1998, Eneas mengubah derita menjadi keberuntungan.
Dan masih ada
banyak kisah lagi yang mengajak kita berfikir ekstra keras dan menghela nafas
dalam-dalam. Disamping karena alurnya yang sedikit membingungkan, juga tanpa
kita sadari-seperti komentar Richard Oh terhadap novel ini, pertanyaan-pertanyaan
sang karakter menjadi pertanyaan-pertanyaan kita. Penulis lenyap, perannya
telah dihibahkan kepada sang pembaca.
Dalam novel
ini juga dikisahkan tentang tragedi tahun 1998 disaat terjadi huru-hara,
diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, pemberontakan mahasiswa terhadap
pemerintah dan kasus penculikan mahasiswa. []
Memaknai Hidup, Menyambut Kematian
Reviewed by Fahmi ASD
on
21.01
Rating:
Tidak ada komentar: