Pendidikan Keluarga Qur’any

https://aldyreyhan.files.wordpress.com/2010/12/iraqgirl1.jpg

Yes, WC-ku wis dadi,” suara sumbang mengagetkan seisi ruangan pojok atas PKM FITK. Baihaqi masuk di kantor Edukasi dengan semangat dan penuh riya’. Beliyo telah menyelesaikan #WritingChallenge4 (WC), yang biasanya selalu menjadi yang terakhir.

Sontak Aziz dan Aam, dua jomblo idealis ini menjadi terusik dan tergerak untuk segera menyusul menulis WC4. Sebenarnya Aziz tidak termasuk dalam catatan karena dia bukan kategori satu angkatan satu jiwa. Tapi, mas Aziz, begitu salah seorang wanita memanggilnya yang kemudian ditiru oleh semua kru Edukasi, tetap kekeuh untuk ikut WC4 ini.

Sedangkan saya, tak begitu terpengaruh oleh suasana, tetap duduk manis menghadap monitor. Dikejar deadline layout dua jurnal dan majalah. Aslinya sih cuma kebagian layout jurnal, tetapi karena satu dan lain hal, akhirnya nglayout majalah lagi, bismillah.

Namun begitu, suara sumbang Baihaqi akhirnya mengusik naluriku juga untuk ikut menyelesaikan WC4. Ini sudah menjadi komitmen bersama sebagai ajang latihan dan pembiasaan menulis. Apapun keadaan dan kesibukannya, harus tetap terselesaikan. Seperti orang sakit yang minum obat dengan resep dokter, kalau tidak minum tepat waktu dan sampai habis, bisa jadi resisten. Sakit tak sembuh-sembuh dan gak mempan obat. Begitupun dengan WC ini, jika tidak menulis, takutnya nanti jadi resisten, tuman untuk melanggar komitmen, melanggar janji suci, menulis. Ojo ngasi, jangan sampai, naudzubillah min dzaalik.

***

Masuk di IAIN Walisongo, khususnya di Fakultas Tarbiyah, khususnya lagi di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, sungguh menakjubkan. Bayangkan, saya yang awalnya pendiam, tak suka keramaian, secara gak sengojo jadi koordinator angkatan PMII Tarbiyah. Yang menuntut untuk kenal dan begaul dengan banyak orang, menjadi tangan panjang pengkaderan. Tak cukup itu, aktivitas di kampus menjadi lebih beragam, tidak hanya uplek-uplek di dalam kelas saja, tetapi juga asyik diskusi.

Yang tak kalah menakjubkan adalah masuk di IAIN Walisongo dan kuliah di Fakultas Edukasi. Yah, banyak kru Edukasi, yang masih aktif ataupun alumni merasa begitu. Sejatinya bukan kuliah di Fakultas Tarbiyah, tetapi kuliah di Edukasi. Karena di Edukasi segala ada, lingkungan edukatif, sahabat berbagi dan ilmu yang didapat dari membaca, diskusi dan menulis.

Dari dua lingkungan itu, srawung dengan orang-orang yang semangat membaca dan diskusi, menambah begitu banyak pengetahuan, khususnya dalam kajian pendidikan. Sekarang saya tau siapa itu Paulo Freire, tokoh pendidikan pembebasan dan pendidikan humanis asal Brasil. Menurut Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Oleh karenanya, pendidikan akan melibatkan interaksi dialektis tiga komponen, yaitu pengajar, pelajar atau anak didik dan realitas dunia.

Ada juga Ivan Illich, tokoh pendidikan kritis yang terkenal dengan karangannya Deschooling Society. Illich mengkritik habis-habisan sekolah yang ada di Amerika Serikat waktu itu. Sekolah-sekolah di Amerika tidak mampu menjawab bahkan menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh siswa. Sekolah telah menciptakan mitos-mitosnya sendiri, dan masyarakat terpengaruh, jika membicarakan pendidikan pasti tidak terlepas dari sekolah.

Dari dunia Islam ada Al Ghazali, yang dulu sepengetahuan saya hanya sebagai tokoh sufi, ternyata juga seorang filsuf dan tokoh pendidikan Islam. Al Ghazali punya ide tentang sosok guru (dalam Islam dikenal dengan Syaikh), ini ada dalam Jurnal Edukasi Vol. XI, No. 1 September 2015.

Semua itu melengkapi pengetahuanku sebelumnya tentang tokoh-tokoh pendidikan. Seperti Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia dengan slogan populer Ing Ngarsa Sung Tuladha, Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa dan Sekolah Tamansiswanya. Atau yang sudah familiar di pesantren dan madrasah, Syaikh Burhan al-Din Ibrahim al-Zarnuji al-Hanafi muallif kitab Ta’limul Muta’aalim Tariq al-Ta’allum yang di dalamnya ada nadhom Alaa lan tanaalul ‘Ilmi bi Sittatin, Tak bisa kau raih ilmu tanpa enam senjata; cerdas, sabar, loba, biaya, petunjuk guru dan belajar sepanjang hayat.

Itu semua tokoh-tokoh pendidikan populer dengan gagasan-gagasan yang banyak didiskusikan dan dipraktekkan oleh masyarakat dunia. Tetapi, tanpa kita sadari, ada tokoh pendidikan yang paling dekat dengan kehidupan, yaitu keluarga, khususnya orang tua.

Orang tua siapapun, tentu mempunyai gagasan-gagasan tentang pendidikan untuk anak-anak dan keluarganya. Gagasan itu sudah pasti yang terbaik yang disusun dan kemudian dilakukan dalam keluarga.

***

Pendidikan yang ada di keluarga saya tak lepas dari lingkungan yang ada, pesantren dan madrasah. Bapak, hampir seluruh hidupnya dihabiskan di pesantren, bahkan sempat menjadi ketua pondok dan seorang abdi ndalem. Setelah menikah pun tetap hidup di lingkungan pesantren. Meski Bapak tak sempat menyelesaikan sekolah dasar, tetapi bisa menjadi sarjana, karena ndaftar kuliah dengan ijazah dari sekolah Muhadloroh- semacam madrasah yang ada di pondok Brabo. Ibu, wanita sederhana yang menyelesaikan studi sampai jenjang sekolah menengah pertama. Kemudian banyak belajar di pesantren dan menghafal Al Qur’an.

Saya sempat iri dengan apa yang dituturkan oleh beberapa kawan dalam WCnya. Baihaqi yang menyebut Bapaknya sebagai penganut Howard Gadrner, yang memandang bahwa anak memiliki kecerdasan ganda atau Multiple Intelegent sehingga tidak boleh dikekang untuk mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan kodratnya. Dan Baihaqi dipersilahkan memilih sesuai keinginan udel-nya.

Atau Aam yang mengisahkan, ternyata Abahnya adalah seorang revolusioner, bisa dibilang setara bahkan melebihi Ki Hadjar Dewantara, Ival Illich, Pierre Bourdieu sampai Paulo Freire. Abahnya Aam, seperti diceritakan anaknya, memaknai pendidikan sebagai proses memerdekakan manusia, menganggap semua rumah adalah sekolah, semua orang adalah guru. Abahnya Aam juga mengkritik dominasi sekolah laiknya Ivan Illich, “Kenapa orang ke sekolah harus bersepatu? Bagaimana dengan petani yang kesehariannya ke sawah dengan beralas kaki?” Sungguh ruaarr biasa. Sedangkan saya? Tak ada kisah heroik semacam itu.

***

Begini, dalam keluarga saya, pendidikan pertama adalah pengetahuan tentang agama, terutama kemampuan membaca Al Qur’an. Saya dan adik-adik sedari kecil sudah dididik dan dibimbing untuk lancar membaca kitab suci umat Islam itu. Dilengkapi dengan pengetahuan tentang tajwid, makharijul huruf, sifat huruf sampai bacaan-bacaan gharib. Pelajaran itu tidak hanya didapat di rumah tetapi juga di Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ).

Tidak hanya diajar membaca, tetapi juga dilatih untuk menghafal Al Qur’an, mulai dari juz 30, surat-surat pilihan sampai keseluruhan Al Qur’an. Dan terbukti, sekarang kedua adik saya sedang proses menghafal Al Qur’an di pondok pesantren sebelah rumah.

Kedua, pendidikan formal. Diakui atau tidak, bapak-ibu termasuk yang mengamini bahwa pendidikan sama dengan sekolah. Setiap membincang pendidikan tidak terlepas dari sekolah. Atau dengan kata lain, zaman sekarang ijazah itu penting.

Boleh dikata, ibu adalah orang yang melihat pendidikan dari hasil bukan proses. Pernah dulu saya dimarahi ibu karena tidak dapat rangking satu di kelas.Tak seperti Abahnya Aam, yang bisa membedakan antara substansi dan proses, antara ijazah dan hasil. Tak seperti itu. Tetapi pemikiran ibu mulai berubah ketika saya sekolah di Madrasah Aliyah, dan kebetulan saat itu saya kerap sakit-sakitan. Akhirnya ibu menyadari bahwa peringkat di kelas bukanlah segalanya, yang penting adalah pembelajaran, prosesnya.

Ketiga, Bapak selalu mengingatkan tentang pentingnya dekat dengan alim ‘ulama. Ini dipraktekkan Bapak yang sampai sekarang tidak pernah lepas dari keluarga ndalem almarhum KH Ahmad Baidlowi. Selain dekat secara fisik, karena memang rumahnya berdekatan, juga masih ikut membantu mengajar dan mengembangkan pesantren.

Keempat, ini akhi-ukhti sodara Felix Siauw mungkin sangat menyetujuinya, gak boleh pacaran! Setahuku bapak-ibu gak pernah tuh kenalan dengan koh Felix, kok bisa satu suara seiya sekata dengan bapak-ibu saya ya? Jangan pacaran sampai halal! Kalau terlanjur pacaran ‘Udah Putusin Aja!’

Dan memang, selama saya belajar di Ngaliyan, dari era IAIN hingga menjadi UIN tak sekalipun saya pacaran dengan lawan jenis, apalagi sesama jenis, eehh. Tapi kalau sebelum masa kuliah, biarlah itu menjadi sejarah. Hhhee

Dan terakhir, terkait yang disampaikan Baihaqi mengambil pendapatnya Howard Gadrner, tidak melakukan pengekangan terhadap pilihan anak. Dalam hal ini Bapak-ibu mempunyai kendali utama terkait arah pendidikan anak-anaknya. Ini saya alami ketika setelah lulus dari Madrasah Aliyah. Niat hati ingin langsung melanjutkan kuliah di jurusan desain grafis, tapi pupus. Orang tua menginginkan saya belajar dulu di pondok pesantren, minimal tiga tahun. Setelah itu baru boleh melanjutkan kuliah, dan tidak di jurusan desain grafis atau komputer.

Akhirnya setelah lulus MA, mampir dulu belajar di pesantren Al Falah Ploso Mojo Kediri dan Al Muyassar Sumbergirang Lasem Rembang, baru kemudian kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang. Ini juga atas pilihan Ibu. Beliyo menyarankan saya masuk jurusan PBA karena dulu saat MTs katanya saya suka dengan pelajaran bahasa Arab. Padahal jelas beda kan pelajaran bahasa Arab di MTs dan di bangku kuliah?

***
Dari beberapa pendidikan yang ditanamkan bapak-ibu dalam keluarga kecil kami, saya tertarik dengan kekeuhnya bapak-ibu untuk mencetak generasi Keluarga Qur’aniy. Beliyo berdua menginginkan anak-anaknya tidak hanya pandai dan fasih membaca Al Qur’an saja, tetapi mampu menghafalnya di luar kepala. Sepertinya motivasi seperti ini banyak juga ditemui d keluarga-keluarga muslim lainnya. Dan untuk hal ini Yusuf Mansyur menjadi yang terdepan. Melalui pesantren binaannya, Ustadz sedekah itu mampu mewujudkan mimpi beribu bahkan berjuta bapak-ibu Indonesia dengan mencetak ratusan generasi muda penghafal Al Qur’an.

Sungguh mulia dan mungkin sangat bahagia jika memiliki keluarga Qur’aniy. Bapak-ibu hafal Al Qur’an, anak-anak hafal Al Qur’an. Kalau bisa keponakan, sepupu semua saudara hafal Al Qur’an. Seakan seluruh isi rumah bertabur bunga surga.

Memang sangat beralasan ketika orang tua menginginkan anak-anaknya hafal Al Qur’an, bahkan jika orang tuanya tak hafal atau tak bisa mengaji sekali pun. Ada janji Allah dalam Hadis, jika seorang anak hafal Al Qur’an, di akhirat nanti kedua orang tuanya akan diberikan mahkota, menarik bukan?

Eits, jangan terburu dulu. Memang banyak pahala dan kebaikan bila mampu menghafal Al Qur’an. 
Tetapi perlu diingat, selain bisa memberi syafaat di akhirat kelak, Al Qur’an pun bisa memberi laknat, bahkan kepada sang penghafal -jika ia lalai terhadap hafalannya. Nah ini penting, dari cerita para haamilul Qur’an menjaga hafalan jauh lebih sulit dan payah dari sekadar meghafalnya.

Mungkin kita bisa menelaah sebuah Hadis Nabi, “Khoirukum man ta’allamal Qur’ana wa ‘Allamah.” Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya. Kiranya mempelajari Al Qur’an, memperbaiki bacaannya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari jauh lebih cukup dari hanya sekadar menghafalnya tetapi alpa dalam laku, bukan begitu? []

Tulisan ini sebagai jawaban #WritingChallenge4 dengan tema "Pendidikan dalam Keluarga" bersama Baihaqi, Aam, Agita dan kawan-kawan Edukasi lainnya.
Pendidikan Keluarga Qur’any Pendidikan Keluarga Qur’any Reviewed by Fahmi ASD on 17.21 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.