Menarik
membaca tulisan #WritingChallenge3 tiga kawan pegiat pers tentang almamaternya,
LPM Edukasi. Ada Aam, Aziz dan Baihaqi.
Aam
–pria berkacamata ini bercerita tentang pengalamannya selama berproses di
Edukasi, merasa tersesat karena menjadi seorang layouter, padahal sejatinya dia
seorang penyair. Ada juga Aziz –anak baru gede ini bercoloteh tentang
sosok-sosok ‘ganjil’ di Edukasi; Aam, Baihaqi, Agita dan saya juga menjadi
korban celotehaannya. Yang terakhir Baihaqi, manusia sok serius ini mengupas
beberapa jargon Edukasi yang dirasa sekarang ini berubah menjadi mitos belaka.
Seperti contoh, jargon Lewat Satu Detik Sejuta Ilmu Hilang.
Saat
ini, ‘Ayat suci’ itu seperti kehilangan marwahnya, kehilangan daya magisnya.
Tidak lagi menjadi spirit aktivis pers Edukasi untuk giat membaca, diskusi dan
menulis. Hingga lahir ayat baru, dan ini hanya sebuah sindiran, deadline
mana lagi yang kau dustakan?
***
Berbincang
tentang Edukasi, berarti berbicara tentang sebuah peradaban intelektual di
Kampus FITK. Karena Edukasi adalah sentrum gerakan, kajian dan ruang dialektika
mahasiswa. Di Edukasi tidak hanya sekadar menulis, ada segudang aktifitas yang
bisa dilakukan untuk mengasah bakat atau menyalurkan hobi lainnya. Ada ruang
untuk sastra, fotografi, desain, ilustrasi, riset dan lainnya.
Meskipun begitu, menulis tetap menjadi hal utama di Edukasi. Tetapi menulis tidak hanya sekadar menulis. Menulis di Edukasi bukan untuk diri sendiri, bukan karena mengharap reward dari kampus atau supaya bisa dipamerkan di media sosial. Menulis di Edukasi atas dasar kajian mendalam dan kerja kolektif, kemudian dipublikasikan lewat beberapa produk jurnalistik Edukasi seperti Jurnal, Majalah, Bulletin, Koran dan Edukasi Online.
Sering
saya sampaikan kepada kawan-kawan, khususnya kru baru, “Kalau hanya sekadar
ingin bisa menulis lebih baik tidak masuk Edukasi.” Karena Edukasi
membutuhkan mahasiswa yang tidak hanya sekadar bisa menulis, tetapi juga memiliki
semangat lebih dan bisa kerja kolektif. Kalau hanya sekadar menulis, tidak ikut
Edukasi pun bisa menulis. Bisa dengan belajar otodidak kemudian dikirim ke
media-media lokal-nasional, ikut komunitas menulis semacam FLP atau banyak cara
lainnya. Pokoknya kalau hanya sekadar ingin belajar menulis atau menjadi
penulis, tidak di Edukasi pun, bisa. Karena sejatinya belajar menulis adalah
menulis itu sendiri.
Berbincang
tentang Edukasi, juga berbicara tentang sebuah keluarga. Keluarga ideologis dan
kultural, yang lahir sejak generasi majalah Citra sampai generasi sekarang. Dan
selama sistem kaderisasi berlanjut, generasi-generasi baru akan selalu hadir.
Berbincang
tentang keluarga Edukasi, jadi teringat kawan-kawan ‘Satu Angkatan Satu
Jiwa’ saya di Edukasi. Begini ceritanya. Setelah berakhirnya Muktamar XXI,
saya mengumpulkan kawan-kawan Edukasi angkatan 2011, untuk membahas struktur
kepengurusan dan beberapa rencana Edukasi ke depan. Hingga berjalannya waktu
hanya beberapa kawan 2011 yang dapat membantu, mungkin karena mereka sudah
memiliki kesibukan masing-masing, hingga jarang bisa hadir di forum-forum Edukasi.
Dalam
roda organisasi seorang partner menjadi penting, sebagai teman diskusi, tukar
pendapat atau sekadar berceloteh, dan itu tidak saya dapat dari kawan-kawan
2011. Kemudian saya mencoba menggandeng beberapa orang angkatan 2012, tetapi
akhirnya terlepas juga. Hingga akhirnya saya menemukan tiga nama yang bisa
diajak kerja sama dan punya semangat lebih untuk mengelola Edukasi, Aam,
baihaqi dan Agita. Dan tiga orang itu secara kebetulan tergabung dalam divisi
Pengkaderan dan Pengembangan Sumber daya Manusia (PPSDM). Selanjutnya setiap
ada agenda di Edukasi saya selalu melibatkan ketiga orang itu, mulai dari
konsep sampai pelaksanaan.
Sebenarnya,
ini juga sebuah usaha untuk menghapus sekat antar angkatan yang selama ini ada
di Edukasi. Yang sudah berlaku, biasanya satu periode kepengurusan hanya
dijalankan oleh satu angkatan sebagai pemegang kebijakan, tidak ada sumbangsih
ide dan gagasan dari angkatan lainnya. Harapan saya, kerja kolektif dan bekerja
bersama akan menjadi budaya di Edukasi.
***
Sebagai
sentrum gerakan intelektual, sudah saatnya Edukasi berbenah diri. Kembali
hadirkan ghirah pergulatan intelektual mahasiswa. Itu bisa terlaksana
dengan usaha tekun membaca, diskusi dan menulis. Juga pandai mengatur waktu
karena, lewat satu detik sejuta ilmu hilang. Kalau semua itu bisa tercapai,
wacana-wacana kritis Edukasi bukan tidak mungkin akan menjadi pengawal
perubahan. Semua itu harus dilakukan, karena jurnalis Edukasi peduli peradaban.[]
Edukasi: Sebuah Peradaban Intelektual
Reviewed by Fahmi ASD
on
02.06
Rating:
Tidak ada komentar: