Melihat jauh ke belakang, di tahun millenium baru membuat
memori otak berputar tentang beberapa fakta dan kejadian yang menarik. Ada 3
hal yang tak terlupakan di tahun 2000, sekolah, keluarga dan televisi.
Sekolah. Di tahun 2000 berarti usiaku menginjak 9
tahun dan sudah duduk di sekolah dasar. Kebetulan saat itu saya sekolah di SD
favorit di desa saya, SD N 2 Brabo. Konon katanya, sekolah dasar ini yang
paling banyak siswanya di antara sekolah dasar yang lainnya, SD Brabo 1 dan 3.
Dari letak sekolahnya pun berbeda, SD 2 berada di barat desa, sedangkan SD 1
dan 3 berada di timur desa, bersebelahan.
Masa sekolah SD adalah masa menyenangkan, betul? Seingat
saya dulu, pergi ke sekolah tanpa beban apa pun, yang penting berangkat. Di
kelas dengerin keterangan atau nurut tugas guru, main-main sama temen, setelah
itu pulang. Sampai rumah pun main lagi. Setelah asar baru sekolah lagi di TPQ,
belajar ngaji. Lha gimana gak menyenangkan dan tanpa beban? Belajar aja
gak pernah, karena gak tau apa itu ‘sejatinya’ belajar. Pernah satu waktu saya
coba menanyakan pada ibu tentang belajar. Dengan polosnya saya berkata, “Bu,
sinau niku nopo? Pripun carane sinau?” (Bu, Belajar itu apa? Bagaimana caranya
belajar?). Meski tidak tahu sejatinya belajar, tapi kok ya gak pernah absen
dari peringkat kelas, hehehe.
Keluarga. Di tahun ini juga adik saya yang kedua
lahir, tepatnya tanggal 2 Oktober 2000 di BP/RB NU Sugihmanik. Ada cerita
menarik dari bapakku. Beliyo ngomong saat itu, “apa pun jenis kelaminnya adikku
nanti, akan diberi nama Daimul Falah (kalau cewek ya tinggal ditambah ta’
marbuthoh jadinya Daimatul Falah).” Dan ternyata lahir bayi perempuan imut
dengan selamat sentosa, dan diberi nama Daimatul Falah. Sekarang orangnya uda
gedhe, tumbuh ke atas dan ke samping, hheee. Berarti saat ini usianya 15 tahun
dan duduk di kelas X MA Tajul Ulum Banat jurusan keagamaan. Semoga jadi anak
sholehah, nduk!
Televisi. Dan ini yang paling menarik di tahun 2000,
televisi! Meski sudah masuk millenium baru, ternyata di rumah saya belum ada
TV. Jadi kalo mau nonton tivi mesti pergi ke rumah tetangga. Namun tak lama,
akhirnya ada juga tivi di rumah. Meski Cuma tivi hitam putih, uda cukup buat
hiburan.
Di tahun 2000an merupakan awal dari generasi media televisi.
Jika sebelumnya hanya ada TVRI, RCTI, SCTV, TPI dan Indosiar, kemudian lahir
beberapa stasiun tivi swasta seperti TransTV, Lativi, Gtv, Trans7 dan Lativi.
Semua berjalan seperti biasa, setiap stasiun tivi berlomba memberikan tayangan
yang terbaik untuk memikat hati masyarakat. Yang paling ku ingat adalah Gtv
dengan tanyangan MTv-nya dan Lativi dengan tayangan film-film jadulnya. Hingga
akhirnya dunia televisi berubah dengan adanya konglomerasi media.
Hadirnya orang-orang berduit yang berhasrat untuk menjadikan
media televisi sebagai ladang bisnis, memberikan banyak perubahan. Pers yang
digadang-gadang menjadi pilar keempat demokrasi, mulai dimonopoli oleh para
pemilik kapital. Akhirnya lahirlah korporasi macam MNC Group milik Harry Tanoesoedibjo
yang memiliki MNC TV, RCTI dan Global TV. Ada juga Aburizal Bakri dengan VIVA
Groupnya yang mengelola ANTV dan TVOne. Tak kalah juga Chairil Tanjung sebagai
pemilik Trans Corp yang menaungi TransTV dan Trans7.
Adanya era baru korporasi media memberikan dampak yang
serius terhadap media dan masyarakat luas. Media jelas berperan dalam proses kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Jika dilihat dari fungsi pers, yaitu pembentukan
opini, dan sekaligus memberikan pengaruh pada masyarakat, berdasar info yang
disajikannya.
Kita
tentu masih ingat bagaimana model pemberitaan yang disajikan oleh MetroTV dan
TVOne saat Pilpres kemarin. Seolah semua masyarakat hanya disajikan dua
kebenaran yang dikelola oleh dua media itu. Opini publik digiring untuk melihat
wajah calon pemimpin nageri ini hanya dari dua sudut pandang.
Ini jelas bukan yang diinginkan dari peran dan fungsi pers. Seperti pertanyaan
yang diajukan oleh Bill Kovach dalam bukunya 9 Elemen Jurnalisme, “Kepada siapa wartawan (pers) harus menempatkan loyalitasnya? Pada
perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”
Sudah jelas bahwa wartawan, pers dan media
diharuskan untuk memberikan informasi yang berimbang dan setia kepada masyarakat.
Dengan adanya konglomerasi media, akan menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran
terhadap independensi dan loyalitas media. Seperti yang diungkapkan oleh HM.Syabani Aira, pengamat media dari Banjarmasin.
Konglomerasi media menimbulkan beberapa resiko, pertama
berpengaruh terhadap sisi profesionalitas wartawan. Idealisme yang selama ini diperjuangkan
mendapat godaan dari pemilik modal. HM. Syabani menyebut wartawan yang tunduk
pada perusahaan sebagai buruh pers, yang bekerja sesuai kehendak dan keinginan
perusahaan.
Kedua, lebih
berbahaya lagi jika korporatnya berasal dari dunia politik, bisa dipastikan
segala pemberitaan akan mengarah pada kegiatan-kegiatan partai. Ketiga, suksesnya
peran pemodal dalam mengatur peran media bisa mengancam demokrasi. HM. Syabani
mengatakan, “Bagaimana pun, dengan peranan pers yang pital, khususnya bagi
evolusi masyarakat demokratis, ada kemungkinan ketika para diktator berhasil
merebut kekuasaan, langkah awal dilakukannya ialah menguasai jaringan radio-televisi
dan menutup pers oposisi.”
Kekhawatiran-kekhawatiran itu perlu disikapi bersama
oleh para pegiat pers. Bagaimana upaya mengembalikan fungsi pers sesuai
khittahnya, tanpa mengesampikan peran pemodal. Saran dari HM. Syabani, perlu
ada gerakan bersama masyarakat pers, khususnya wartawan untuk tidak terjebak
dalam permainan kaum kapitalis dan politisi. Mereka harus memosisikan dirinya
sebagai pekerja pers, yang mengemban amanah idealisme, untuk kepentingan rakyat
banyak.
Selain itu, juga harus diimbangi dengan gerakan literasi
media kepada masyarakat. Sebagai konsumen, pembaca, pemirsa dan penikmat media,
khususnya televisi, masyarakat perlu tahu tentang korporasi media. Selanjutnya
mereka akan bisa memilih dan menyaring informasi yang ada dengan penuh
kebijaksanaan.
Usaha
itu bisa dilakukan melalui sekolah dan keluarga. Sekolah bisa memberikan
edukasi kepada para siswa tentang peranan media dan bagaimana memilih konten
media yang baik. Memberikan pilihan tentang acara yang layak dan baik ditonton.
Keluarga, khususnya kedua orang tua juga mempunyai peran dalam pengawasan
terhadap media yang ditonton oleh anak-anak. Sudah saatnya menjadi masyarakat
media yang cerdas. []
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan #WritingChallenge2 bersama kawan-kawan LPM Edukasi-Baihaqi, Aam dan Agita, dengan tema "Tahun 2000".
Sekolah, Keluarga dan Televisi
Reviewed by Fahmi ASD
on
07.45
Rating:
Tidak ada komentar: