Ikut kata orang tua atau kata hatimu?


Jika kamu diberi pertanyaan, "Ikut kata orang tua atau kata hatimu?" terkait segala apa yang kamu lakukan sekarang atau akan kamu kerjakan nanti, yang tentu saja bisa mempengaruhi masa depanmu kelak. 

Apa jawabanmu? 


Kamu pernah gak, berada dalam posisi seperti itu?

Misalkan saja kamu punya keinginan, selesai SMA ingin melanjutkan kuliah di jurusan desain grafis, karena sejak sekolah sudah punya passion dan ingin belajar lebih jauh tentangnya. Tetapi ternyata keinginanmu itu berbeda dengan keinginan orang tua. Ayah-ibumu ingin kamu menjadi seorang guru, karena itu mengarahkanmu supaya melanjutkan kuliah di fakultas pendidikan.

Atau sebenarnya kamu ingin jadi polisi, tetapi ternyata ayah-ibumu ingin kamu jadi dokter. Ayah-ibumu ingin kamu belajar di pesantren, tapi sebenarnya kamu pengen sekolah di SMK. Dan banyak lagi kondisi-kondisi lainnya yang hampir serupa dengan itu.
Lalu, Apa jawabanmu? 

Orang bijak mengatakan, jika kita mengikuti apa yang dinginkan orang tua, hanya ada satu kemungkinan, yaitu kita akan bahagia menjalani hari-hari esok. Karena doa dan restu orang tua selalu mengiringi segala aktifitas kita. Bahkan akan ada kejutan-kejutan hidup yang mengiringinya sebagai bonus dari bakti, kepatuhan dan ketaatan kita kepada orang tua. 

Berbeda jika kita keukeuh dengan kata hati, mengesampikan nasehat dan saran orang tua. Ada dua kemungkinan di hari esok, kita akan bahagia karena bisa mewujudkan apa yang kita inginkan, menjalani hari dengan apa yang telah kita cita-citakan. Atau tak akan ada bahagia sama sekali, bahkan kita akan menyesal telah mengesampingkan saran, nasehat dan pertimbangan-pertimbangan orang tua kita dulu. 

Kalau begitu, apa jawabanmu? 

Mungkin ceritaku ini bisa menjadi pelajaran. 

Saya masih ingat, waktu kecil dulu sangat suka bermain mobil-mobilan dan bus-busan. Ada beberapa koleksi mainan mobil dan bus. Hampir setiap hari sepulang sekolah SD, saya pasti bermain itu, sendiri. Hingga akhirnya sempat berfikir, kalau sudah gede nanti mau jadi sopir bus saja. Sepertinya menarik dan menyenangkan jika melihat pak sopir memegang kendali di kursi pojok kanan paling depan. Sesekali membunyikan klakson, dulu belum populer telolet seperti dua tahun belakangan ini. Apalagi, setiap ikut bapak pergi ziarah walisongo, pasti saya duduk di jok paling depan, di tengah-tengah sopir dan kernet. 

Bayangan menjadi sopir perlahan menghilang ketika saya duduk di kelas dua Madrasah Tsanawiyah (MTs). Ketika itu saya mulai tertarik pelajaran bahasa Indonesia: tentang puisi, sajak, cerpen, dan beragam karya sastra lainnya. Keinginan menjadi sopir berubah ingin menjadi seorang sastrawan atau penulis. Tapi jalan tak sesuai yang diinginkan.

Di Madrasah Aliyah (MA) tempat saya belajar selanjutnya, ternyata tidak ada jurusan bahasa, tempat di mana bisa mengembangkan skil menulis dan mengarang, menurut saya. Dengan terpaksa akhirnya memilih jurusan IPA, karena kebetulan hasil tes seleksi masuk saya cukup bagus untuk masuk IPA. Rasanya kok eman banget jika sudah masuk IPA kemudian pindah IPS. 

Dan ternyata di Madrasah itu saya menemui dunia saya yang lain, desain grafis dan layout. Bermula ketika saya diajak teman untuk ikut dalam struktur organisasi Persatuan Pelajar (PP) Madrasah, semacam OSIS gitu lah, tepatnya di bidang jurnalistik bagian layout dan desain grafis. Di MTs dulu memang sempat suka menggambar dan corat-coret tak jelas. Dan modal itu mendapat penyalurannya ketika menjadi layoter buletin el Insyaet dan majalah Ath Thullab. Bersama beberapa teman lainnya, sebulan sekali melayout buletin. Karena belum menguasai aplikasi desain semacam corel draw dan adobe, dengan segala keterbatasan, akhirnya melayout dengan menggunakan Microsoft Word. Tapi jangan salah, hasil akhirnya setelah dicetak, tak kalah bagus dengan hasil corel atau potoshop.

Satu tahun menggarap layout buletin sekolah, ditambah lagi diajak teman sepondok untuk mengerjakan buletin pondok, el Fannan membuat yakin diri sendiri bahwa passion saya adalah desain grafis. Sempat juga waktu itu ikut pelatihan animasi di Universitas Muria Kudus (UMK). Hingga akhirnya punya rencana setelah lulus nanti ingin melanjutkan kuliah di jurusan DKV. 

Ujian Nasional telah selesai. Sekolah yang ditempuh selama tiga tahun, lulus tidaknya hanya ditentukan dalam waktu tiga hari, oleh beberapa mata pelajaran saja: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Kimia dan Fisika. Dan akhirnya lulus juga.

Ketika itu tahun 2008. Setelah lulus MA, sempat mampir di PP Al Falah Ploso sebelum akhirnya melanjutkan mondok di Al Muyassar Lasem, selama kurang lebih 2.5 tahun. Baru setelah itu, di tahun 2011 masuk kuliah di UIN Walisongo Semarang, waktu itu masih bernama IAIN Walisongo. Di Walisongo ini lah saya mendapat banyak pelajaran dan teman. Belajar tidak hanya di ruang kelas, tetapi si manapun. Belajar tidak hanya dengan dosen tetapi dengan siapa pun. Tidak hanya belajar ilmu pendidikan tetapi ilmu apa pun. Termasuk salah satunya adalah ilmu jurnalistik dan desain grafis di LPM Edukasi.

Semua fase belajar dan pendidikan yang saya lalui dan jalani, hampir semuanya adalah saran dan pertimbangan dari orang tua. Kecuali di Lasem, karena itu atas pilihan saya sendiri yang disepakati ortu. Meskipun begitu, sebenarnya juga keinginan orang tua, karena sejatinya setelah selesai dari MA saya ingin langsung melanjutkan kuliah. Tapi ortu punya pertimbangan lain, sebelum kuliah harus mondok terlebih dahulu minimal tiga tahun. Dengan alasan agar mendapat asupan ilmu agama lebih banyak lagi. Supaya kuat menghadapi kerasnya kehidupan di luar, begitu. 

***

Perjuangan itu mulai menemukan titik penghabisan ketika satu tahun yang lalu, tepat tanggal 31 Desember 2016 saya mendapatkan ACC bimbingan skripsi oleh Pembimbing I. Terasa begitu melegakan. Dua minggu sebelumnya, saya mendapat ultimatum dari Bapak untuk segera menyelesaikan tugas akhir. Jangan pulang kalau belum selesai. Itu artinya, sudah tidak ada lagi toleransi.

20 Januari 2017, di ruang Jurusan PBA, di hadapan 4 penguji. Sebenarnya hanya dua penguji, ditambah ketua dan sekretaris sidang. Tapi tak tau mengapa, semuanya menjadi penguji. Dan istimewanya lagi, kalau biasanya ujian skripsi diikuti tiga atau empat orang mahasiswa, waktu itu hanya ada saya sendiri. Dan alhamdulillah, semua berjalan lancar dan berakhir dengan revisi. Karena dalam kamus mahasiswa, yang fana itu skripsi, revisi abadi.

Waktu yang dinanti datang juga. Setelah menjalani delapan semester untuk kuliah, satu semester untuk KKN, dua semester untuk skripsi, dan satu semester nganggur, akhirnya wisuda juga. Lulus ujian skripsi semester 11 tetapi wisuda di semester 12, karena ikut ujian susulan. Kamis, 27 Juli 2017 di Auditorium I UIN Walisongo dilaksanakan prosesi wisuda ke-71 yang diikuti oleh 966 Mahasiswa yang tergabung dalam jenjang diploma, sarjana, magister dan doktor. Alhamdulillah. 

Dan yang lebih membahagiaakan lagi adalah, sekitar tiga minggu setelah wisuda, tepatnya Rabu, 16 Agustus 2017 saya diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima. Alhamdulillah. Sejatinya, itu adalah hadiah, fadhol dari Allah SWT, yang diberikan-Nya lewat perantara orang tua saya, khususnya ibu saya (Allahummaghfir lahaa). Waktu itu ibu saya sempat dawuh, jika saya bisa menyelesaikan mengaji Al Qur'an, beliau akan menghadiahi saya. Ternyata hal itu dibuktikan ketika saya boyong dari pondok Lasem, sebelum mendaftar kuliah, saya diajak bapak untuk mendaftar haji di Kemenag Kabupaten Grobogan.

Alhamdulillah, nikmat yang luar biasa, sebelum daftar kuliah, daftar haji, sebelum berangkat haji, wisuda sarjana. Dan sebelum wisuda saya juga sudah mulai mengabdi di salah satu Madrasah Aliah di desa saya, hal itu sesuai dengan keinginan orang tua saya, yaitu ingin anaknya menjadi guru. 

Jadi sekarang, apa pilihanmu? Ikut kata orang tua atau kata hatimu?

Pare, 1 Januari 2018

Ikut kata orang tua atau kata hatimu? Ikut kata orang tua atau kata hatimu? Reviewed by Fahmi ASD on 10.24 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.